Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa
Rasulullah saw
bersabda,”Barangsiapa yang meniru
suatu kaum maka dia termasuk dari
mereka.” (HR. Abu Daud yang
dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Meniru-niru ini mengandung
beberapa arti, yaitu menyerupai,
mengikuti, menuruti atau
bersesuaian. Didalam hal ini, islam
memiliki ciri khas tersendiri yang
berasal dari Allah swt yang
membedakan umatnya dari umat-
umat lainnya, baik didalam aqidah,
ibadah maupun akhlak.
Karena itu, Rasulullah saw
melarang setiap umatnya untuk
mengambil atau meniru-niru
prilaku yang menjadi ciri khas
orang-orang diluar islam,
sebagaimana disebutkan didalam
hadits diatas.
Al Munawiy dan al Alqomiy
mengatakan bahwa makna
“barangsiapa yang meniru suatu
kaum” yaitu didalam berhias
dengan perhiasan-perhiasan
mereka, berperangai dengan
perangai mereka, berpakaian
dengan pakaian mereka dan
sebagian perbuatan-perbuatan
mereka.
Al Qori mengatakan bahwa
maknanya adalah barangsiapa
menjadikan dirinya meniru orang-
orang kafir, seperti dalam
berpakaian atau yang lainnya, atau
meniru orang-orang fasiq, pelaku
kejahatan, ahli tashawwuf, orang-
orang shaleh atau orang-orang baik
maka dia termasuk dari mereka,
yaitu didalam dosa dan kebaikan.
Al Qomiy mengatakan bahwa
barangsiapa yang meniru orang-
orang shaleh maka dia akan mulia
sebagaimana mereka telah
dimuliakan. Dan barangsiapa yang
meniru orang-orang fasiq maka dia
tidak akan mulia. Barangsiapa
terdapat pada dirinya tanda-tanda
kemuliaan maka dirinya mulia
walaupun kemuliaan itu belum
terwujud padanya.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan didalam “ash Shiroth
al Mustaqim” bahwa Imam Ahmad
dan yang lainnya telah
berargumentasi dengan hadits ini.
Hadits ini paling tidak menunjukkan
pengharaman tasyabbuh (meniru-
niru) mereka sebagaiamana
didalam firman-Nya :
Artinya : “Dan barangsiapa diantara
kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin maka Sesungguhnya
orang itu termasuk golongan
mereka.” (QS. Al Maidah : 51)
Senada dengan perkataan Abdullah
bin ‘Amr bahwa barangsiapa yang
membangun suatu bangunan di
tanah orang-orang musyrik lalu
membuat perayaan hari raya
mereka dan meniru-niru mereka
hingga dirinya meninggal dunia
maka dia akan dikumpulkan pada
hari kiamat bersama mereka.”
Ada kemungkinan bahwa yang
dimaksud adalah meniru-niru
secara mutlak yang menjadikannya
kufur... Ada pula kemungkinan
bahwa dirinya termasuk dari
mereka didalam kadar tertentu
sesuai dengan yang ditiru mereka
dalam hal itu. Apabila ia adalah
suatu kekufuran atau kemaksiatan
atau berupa syiar-syiarnya maka
hukumnya adalah seperti itu pula.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar
berupa larangan meniru orang-
orang ‘ajam,”Barangsiapa yang
meniru-niru suatu kaum maka dia
termasuk dari mereka.”, demikian
disebutkan oleh al Qodhi Abu Ya’la.
Para ulama berargumentasi dengan
hadits ini tentang makruhnya
segala sesuatu dari pakaian selain
kaum muslimin. Diriwayatkan oleh
Tirmidzi dari hadits ‘Amr bin Syu’aib
dari ayahnya dari kakeknya bahwa
Rasulullah saw
bersabda,”Bukanlah dari kami,
orang yang meniru-niru selain
kami.” (Aunul Ma’bud juz XI hal 56
– 57)
Dengan demikian dilarang bagi
setiap muslim untuk meniru orang-
orang non muslim didalam segala
sesuatu yang menjadi ciri khas atau
syiar mereka, baik didalam perkara-
perkara harian, seperti : pakaian,
peralatan-peralatan makan,
minum, simbol-simbol tertentu
maupun didalam perkara-perkara
ibadah dengan niat meniru-niru
mereka dan dilakukannya dengan
kerelaan tanpa ada keadaan
darurat yang memaksanya.
Termasuk yang dilarang adalah ikut
merayakan dan meramaikan hari
raya mereka atau majlis-majlis
khusus yang merupakan bagian
dari perayaan mereka, seperti
tahun baru cina (imlek). Imlek
menurut kepercayaan orang-orang
Tionghoa adalah upacara
sembahyang ditujukan kepada
Sang Pencipta sebagai wujud
syukur dan doa harapan agar di
tahun depan mendapat rezeki lebih
banyak. Imlek juga bertujuan untuk
menjamu leluhur dan sebagai
sarana silaturahmi dengan kerabat
dan tetangga. Mereka pun
mempersembahkan beberapa
makanan—yang merupakan
kesukaan para leleuhur—sebagai
lambang kemakmuran,
keselamatan dan kebahagiaan.
Firman Allah swt :
Artinya : “Bagi tiap-tiap umat telah
kami tetapkan syari'at tertentu
yang mereka lakukan.” (QS. Al Hajj :
67). Termasuk syariat adalah kiblat,
tata cara sembahyang, berpuasa
dan tidaklah ada bedanya antara
mengikuti mereka didalam hari raya
maupun tempat-tempat sucinya.
Wallahu A’lam
(Sumber: eramuslim.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar